Bismillah
Udah pada baca belum novel yang satu ini? Novel garapan penulis nomor wahid Indonesia ini sangat menginspirasi daku sebagai pembaca. Awalnya tidak terlalu tertarik karena mikirnya pastilah melulu masalah cinta. Untuk sekarang agak bingung dengan kata itu. Hehe.
Pas ke tobuk lihat deretan buku yang aduhai pengen diborong semua, maka aku memegang buku itu, menimangnya sambil melirik harga tentunya, haha. Kemarin aku berpikirnya begini, kalau untuk novel keknya bagus minjem punya orang aja terus dibaca dan jangan lupa dikembalikan. Tapi berhubung sudah dua orang temanku yang telah membeli buku itu dan belum berhasil aku pinjam (sedih ya) dan sepertinya dah malu kalau harus minjam minjam sama kawan. Jadinya aku beli lah buku itu. Terus satu lagi, karena buku ini diterbitkan sama Republika. Agak agak punya kemistri gitu sama penerbit ini. (jiaahh, kemistri cuy). Dan alhamdulillah resmi sudah buku itu menempati rak khusus di hatiku, hedew.
Yap, novel ini ternyata isinya top banget. Dan bagusnya memang sebelum ke novel ini tuntaskan dulu membaca novel sebelumnya AAC part 1 karena sedikit banyak ceritanya merupakan kelanjutan dari yang sebelumnya. Tapi kalaupun tak berkesempatan, langsung juga tak apa.
Di cover depan novel ini, ada
endorsment yang menarik dari Waketum MUI, Prof. Dr. Yunahar Ilyas. “Ini bukan sekadar novel, tapi sebuah cita-cita dan pemikiran besar!” kata beliau. Dan pas sampai di halaman terakhir, aku pun membenarkan seribu persen perkataan beliau.
Sosok Fahri dalam novel ini mewakili konsep ideal seorang muslim masa kini. Weknow lah kan, sekarang itu umat muslim selalu digambarkan dengan hal-hal yang negatif. Sebagian besar atau bahkan seluruh kejahatan, tindakan anarkis maupun brutal selalu dilabelkan pada Islam. Untuk hal-hal yang buruk seperti keterbelakangan, kemalasan, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, selalu identik dengan masyarakat muslim. Jadi kalau ditanya ke orang diluar Islam, apa satu kata yang mewakili Islam? Hmm, udah ketebak belum apa jawaban mereka? Miris kan…
Sampai dalam beberapa kasus di novel ini diceritakan banyak sebenarnya orang/ilmuan yang mempelajari secara mendalam tentang Islam dan mereka mengakui betapa sempurnanya Islam. Namun mereka dibenturkan dengan realitas umat Islam itu sendiri yang masih jauh dari nilai ajaran agamanya.
Seperti yang terjadi pada Prof. Charlotte, seorang Prof. yang meraih gelar Ph.D dalam bidang Arabic and Islamic Studies, dan sebelumnya menulis tesis tentang Tafsir Ibnu Katsir ini, ternyata mengalami hal yang sama. Semua literatur, buku, dan referensi tentang Islam belum meyakinkannya untuk memeluk agama ini.
Memang secara konsep teologis, beliau mengakui bahwa Islam itu sangat menarik.
Bahkan mungkin paling menarik dan rasional dari semua agama yang ada. Sejarah awal Islam juga sangat menakjubkan. Tapi tingkah laku dan peradaban para pemeluk Islam dewasa ini, mayoritasnya, bagi beliau kurang menarik. Jadi Prof. Charlotte belum menemukan alasan kenapa beliau harus memeluk Islam (hal.385-386).
Meskipun kita sebagai umat Islam meyakini bahwa hidayah adalah milik Allah dan hanya dihadiahkan kepada orang-orang yang dikehendakiNya, semoga jangan sampai perilaku tidak baik dari umat Islam menjadi salah satu penyebab orang lain menjadi antipasti terhadap Islam. Sebaliknya, semoga perilaku kita menjadi wasilah bagi orang lain untuk semakin mempelajari Islam yang sebenarnya ya. Amin
Oke, kita lanjut ke bagian lain dalam novel ini. Tentang salah satu gambaran ideal seorang muslim. Fahri yang bekerja di University of Edinburg ini merupakan alumnus S1 dan S2 di Al Azhar University, menyelesaikan S3 di Jerman, dan riset
postdoc di Edinburg University. Hafal 30 juz bersanad, mengkhatamkan banyak tafsir, dan banyak lagi. Bukan tentang berapa banyak gelar yang seseorang sandang sebenarnya yang menentukan ideal atau tidaknya seorang muslim, tapi pada kebermanfaatan di alam semesta. Namun, semua kebermanfaatan itu akan menjadi sia-sia ketika tidak dilandasi pada ilmu yang benar. Idealnya, sepanjang hidup kita memang harus terus belajar dan beramal.
Di novel ini dikisahkan bagaimana Fahri memberi keteladanan yang super dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Baik yang sepemahaman maupun yang belum. Bagaimana dia mampu mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sebagai masyarakat minoritas.
Kita juga akan mendapat banyak sekali pencerahan tentang bagaimana mengatasi sebuah permasalahan, kesalahpahaman/konflik. Dicontohkan oleh Fahri tentang hubungannya yang awalnya kurang baik dengan tetangga tedekatnya Nyonya Janette yang memiliki dua orang anak, Keira dan Jason. Begitupula dengan perilakunya terhadap Brenda, nenek Chatrine, yang awalnya tidak
respect dengan Islam, akhirnya pandangan mereka mulai berubah.
Yang paling mendebarkan bagi sebagian pembaca adalah tentang bagaimana kelanjutan cerita cinta Fahri dengan sang istri yang jejaknya telah lama menghilang pasca kepergiannya ke Palestina? Akankah mereka dipertemukan lagi? Ataukah sang istri sudah meninggal mengingat teman perjalanannya ke Palestina sudah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan.
Kita juga akan dipertemukan dengan tokoh-tokoh baru yaitu Hulya, yang masih sepupu Aisha, Jasmine yang kemudian dijodohkan dengan Fahri, Heba, dan lainnya. Yang kesemuanya mengandung pelajaran yang luarbiasa.
Karena dalam kisah ini, Fahri adalah alumnus Al Azhar, maka banyak quote dari sang guru yang menjadi pencerahan yang diselipkan dalam cerita. Dalam bahasa yang ringan dan tidak ada kesan menggurui.
Beberapa quote yang jleb banget bagiku:
Wasiat Habib Hasan Al Bahr dalam Majmu’ Washaya, “Menghadaplah kepada Allah dengan hati luluh. Hindarkan dirimu dari sikap ujub dan angkuh. Pergaulilah manusia yang jahat dengan baik, karena pada hakikatnya kamu sedang bermuamalah dengan Allah yang Maha Besar. Ulurkan tanganmu pada orang-orang fakir dengan sesuatu yang dikaruniakan Allah kepadamu. Lalu bayangkanlah, Allah lah yang pertama kali menerima pemberianmu itu, sebagaimana dituturkan dalam berbagai ayat Al Qur’an dan hadits Nabi saw. Kelak hatimu akan merasa sangat senang dan bahagian dengan Allah.” (hal.25)
“Ketahuilah, himmah adalah wadah taufik. Kendarailah kuda himmah, niscaya kamu akan mencapai puncak cita-citamu. Mintalah pertolongan Allah dalam setiap langkahmu, maju dan mundurmu. Niscaya tidak akan sia-sia jerih payahmu dan akan tercapai cita-citamu. Lazimkan sikap shidiq dan ikhlas karena keduanya harus dimiliki oleh orang-orang yang memiliki keberhasilan dan keuntungan dalam perdagangan.” (hal.27) aminn
Nasihat Syaikh Utsman, “Sekali nafsu itu kau manjakan , maka nafsu itu akan semakin kurang ajar dan tidak tahu diri! Jangan pernah berdamai dengan nafsu! Sekali kau berdamai, maka nafsu itu akan menginjak harga dirimu dan menjajahmu! Jangan beri kehormatan sedikit pun pada nafsumu. Perlakukan dia sebagai makhluk hina, pengkhianat yang tidak boleh diberi ampun!” (hal.80). Ckckck,,(
begono tho')
Perkataan William Ewart Gladstone (PM Inggris sebelum PD I), “Selama kaum muslim memiliki Al Qur’an, kita tidak akan bisa menundukkan mereka. Kita harus mengambilnya dari mereka, menjauhkan mereka dari Al Qur’an, atau membuat mereka kehilangan rasa cinta terhadap Al Qur’an. (hal. 94). Jadi
warning deh buat kita agar semakin dekat dengan Al Qur'an. Semata karena Allah
Seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah saw, dan beliau pun menasihati. “Jangan menipu Allah!” “Bagaimana manusia bisa menipu Allah?” tanya sahabat itu lagi. “Kau mengerjakan amal yang diperintahkan oleh Allahdan RasulNya namun kau menginginkan selain Allah. Takutlah dari riya’! Sesungguhnya, riya’ adalah syirik kecil. Dan sesungghnya orang yang riya’ akan dipanggil di hari kiamat di hadapan para makhluk dengan empat nama: “Hai orang yang riya’! Hai orang yang mengkhianati janji! Hai orang yang larut dalam kemaksiatan! Hai orang yang merugi! Telah rusak amalmu dan hilang pahalamu. Tidak ada pahala kamu di sisi Kami. Pergilah, lalu ambillah upahmu dari orang yang kau beramal karena dia, hai penipu!” (hal. 140). Astaghfirullah... semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari sifat ini. Amin
Nasihat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Sirrur Asrar, “Masuklah menjadi bagian dari orang yang berjalan kembali menuju Allah. Segera! Jangan menunggu hingga jalan itu tidak dapat dilalui, atau tidak ada lagi orang yang bisa memberi petunjuk ke jalan itu. Tujuan itu datang ke bumi yang sempit dan pasti musnah, ini bukan sekadar untuk makan, minum, bersetubuh, atau berfoya-foya semata. Perilaku itu bukan yang dikehendaki oleh Allah dan diajarkan oleh NabiNya yang paling mulia, Muhammad saw!” (hal. 146)
Filosofi cinta. “Seperti bunga-bunga makrifat di hati para orang-orang saleh dan para nabi. Bunga-bunga makrifat yang tumbuh dari kalimat-kalimat
thayyibah yang akarnya menghunjam dan buahnya rimbun di langit. Bunga-bunga makrifat itu tidak pernah layu, sealu mekar di sepanjang musim. Bunga-bunga makrifat itu begitu indah, keindahannya hanya bisa ditangkap oleh mata batin para pecinta sejati. Bunga-bunga makrifat itu menguapkan aroma keharuman yang menyegarkan ruh, menyegarkan pikiran, jiwa dan raga.” (hal. 227)
Dan lainnya.
Sedikit catatan untuk novel ini, daku sedikit terganggu dengan beberapa penulisan yang salah. Memang masih bisa dipahami, tapi alangkah lebih baiknya jika pengeditan lebih baik lagi. Seperti di hal.163, kata di mana harusnya di mata, tidak seolah harusnya seolah (hal.185), Fahmi harusnya Fahri (hal. 195), di hari harusnya di hati (hal.227), dan lainnya.
Secara keseluruhan,
I appreciate this novel, recommended lah. Bermanfaat sekali..
Alhamdulillah
Belum ada tanggapan untuk "Review Novel Ayat-Ayat Cinta 2"
Posting Komentar