Rasulullah saw bersabda, “Umat ini akan selalu di tangan dan dalam pertolongan Allah selagi para ulamanya tidak diperkaya oleh para pemimpinnya dan selagi orang-orang yang baik tidak menganggap baik orang-orang yang fajir (jahat), dan selagi orang-orang yang jahat tidak menghinakan orang-orang yang baik. Bila mereka melakukan semua itu maka Allah akan mengangkat tanganNya dari mereka dan orang-orang yang kejam akan menguasai dan menindas mereka. Kemudian Allah menurunkan paceklik dan kemiskinan.” (Marasil Hasan Bashri)
Fenomena kondisi umat Islam hari ini, terkhusus di Indonesia. Ulama adalah mereka yang memiliki kapasitas yang mumpuni terkait dengan pemahaman keagamaan. Untuk skala global sebenarnya untuk ‘mendapat’ gelar ulama itu amatlah banyak kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi. Pun begitu halnya dengan di Indonesia. Maka, kita tidak terlalu mengenal para ulama di Indonesia, hanya yang familiar dengan hidup kita adalah ustad/ustadzah.
Tulisan ini tidak hendak membahas apa perbedaan ustadz dengan ulama. Hanya ada keprihatinan saja dengan kondisi negeri ini khususnya umat Islam yang selalu termarjinalkan. Banyak faktor sebenarnya yang menyebabkan terpuruknya kondisi umat Islam di Indonesia. Ketika membaca sabda Rasulullah saw di awal tulisan maka ada sesuatu yang menggelitik dalam pikiran. Lihatlah fenomena ustad/ustadzah di negeri ini, dari segi kuantitas sebenarnya banyak (meski tetap harus terus dilakukan pengkaderan lebih intensif). Pun mungkin dari segi kualitas juga oke, banyak dari mereka yang merupakan alumnus pesantren, universitas Islam, atau sekolah Islam yang tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya.
Namun, masih saja kuantitas dan kualitas itu belum bisa menjawab tantangan yang ada. Menghubungkan dengan hadist di atas rasanya banyak fenomena ustad/ustadzah yang mengarah pada hadist tersebut (semoga dugaanku salah). Di layar kaca kita suguhan ceramah dari ustad/ustadzah adalah makanan sehari-hari. Setiap pagi berbagai televise baik nasional maupun swasta punya jadwal rutin mengawali hari dengan ceramah. Setiap hari. Belum lagi kalau ada hari-hari besar agama Islam. Maka tabligh akbar pun digelar serta ustadz tersohor akan memberikan wejangannya.
Begitupun masih saja banyak hal dari umat Islam yang tidak mengalami perubahan positif. Apakah ceramah rutin setiap pagi itu kurang? Tabligh akbar yang prestisius itu tidak membawa efek? Menurut saya bisa jadi ada yang perlu diperbaiki dengan izzah para ‘ulama’ negeri ini. yang bisa didikte harus berceramah topic ini dan tidak boleh mengangkat topic ini. para ‘ulama’ sudah tidak memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pemikirannya. Karena bisa-bisa diputus kontrak jika keluar dari topic atau permintaan stasiun televisi atau lembaga yang menjadi sponsornya. Maka yang kita dengar, rasakan dari ceramah mereka hanyalah sesuatu yang dangkal dan tidak berefek. Sekedar tontonan agamis yang tida memiliki ruh. Maka sesuatu yang menjadi keniscayaan adalah mengembalikan izzah para ‘ulama’ atau ustad/ustadzah tersebut.
Kehidupan para sahabat, tabi’in dan orang-orang shaleh dahulu wajib menjadi cermin bagi kita. Dimana para ulama adalah mereka yang dicukupkan kehidupannya bukan lewat ceramah yang diberikan tapi oleh orang-orang kaya di negeri tersebut. Para ulama adalah mereka yang tidak menggantungkan hidupnya dari ayat-ayat yang mereka sampaikan pada khalayak. Ulama bukanlah profesi namun kewajiban. Maka kita membaca sirah bahwa mereka adalah orang-orang kaya yang memang telah menjadi kaya sebelumnya. Bukan akibat profesi mereka sebagai penceramah. Wallahu ‘alam bisshawab (081215)
Artikel lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Mengembalikan Peran Ulama"
Posting Komentar