Judul : Diriku, Bagaimana Kabarmu?
Penulis : Muhammad Lili Nur Aulia
Penerbit : Tarbawi Press
Halaman : 258
Bismillah
Buku
ini adalah kumpulan tulisan dari penulis yang udah di post kan di majalah
Tarbawi. Dijadikan buku agar lebih mudah bagi pembaca untuk menikmatinya. Namanya
juga kumpulan, ya berarti ada beberapa tulisan lah. Hehe.
Pemilihan
judul benar-benar buat ngadem ya, dan interest tentunya. Hal yang sangat jarang
kita lakukan, bertanya bagaimana kabar diri sendiri? Rasanya kok aneh gitu,
kita bertanya pada diri sendiri. Hehehe. Tapi inilah keistimewaan buku ini,
kekmana kita selaku manusia harusnya juga mulai menyisihkan waktu untuk
bertanya kabar diri, menyapa diri bertanya kondisi. Karena diri kita juga perlu
perhatian kan, meski dari diri sendiri juga.
Kabar
apa saja untuk diri kita di buku ini? yuk lah kita cus…
**Kuncinya
Ridha…
Imam
Ali ra pernah berkata, “Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan
adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi.”
Ketika
sebuah ujian melanda hidup, seringnya kita adalah dengan mudahnya mengeluh.
Saat apa yang kita inginkan belum kesampaian, kita pun tak jarang merutuk,
entah diri sendiri, orang lain, bahkan Allah yang udah memberi kita triliunan
nikmat yang gak bisa kita hitung. Kalau mau jujur, sebenarnya terlalu banyak
nikmat Allah yang dikaruniakan pada kita, dibandingkan ujian yang menyapa. Tapi
kok hati masih terasa menyesak sampai ke ulu ya?
Inilah
yang dikatakan oleh Hasan Al Bashri ketika ditanya tentang sebab mengapa orang
mudah gelisah dan gampang mengeluh. “Min qillatir ridha anillah”, karena
sedikitnya ridha kepada Allah. Padahal, dalam setiap tegaknya shalat kita
selalu ada ucapan, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam”. Dengan bahasa yang lain, kita udah
nyerahin total kok, mau diapa-apain sama Allah. Ya apa iya. Hehehe. Jadi
terserah Allah dong mau berbuat apa pada kita.
Pemahaman
kita mungkin masih sangat terbatas terkait sikap ridha ini. namanya manusia
yah, pengennya seneng mulu, bahagia selalu. Kita masih mampu melihat apa yang
terlihat, merasa apa yang terasa, dan belum pada puncak pemahaman yang paling
esensi. Karena itulah tulisan ini kembali mengajak kita untuk semakin memupuk
sikap ridha, dengan semua ketentuan yang Allah gariskan.
**Hanya
Karena Kehendak Allah
Pernahkah
kita mempunyai obsesi atau cita-cita, dan kita telah mengupayakan sedaya upaya
untuk memperolehnya dan alhamdulillah kita mendapatkannya? Rasanya entah gimana
gitu ya, gak terlukiskan sama sekali. Pokoknya senang sesenang-senangnya.
Kemudian, apa yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri? Pernahkah ada bersit
dihati kita bahwa keberhasilan itu sedikit banyaknya adalah karena upaya kita?
Campur tangan Allah hanya sekian persennya saja?
Kemudian
kita pun membanggakan kemampuan diri, tak lagi merasa butuh Allah untuk
menuntun? Kita yakini bahwa sebab itulah yang kemudian mengantarkan kita pada
kondisi yang kita harapkan hari ini terjadi.
Syaikh
Ramadhan Al Buthi mengatakan ketika menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah tentang
takdir, “Wahai manusia, lakukan apa saja yang engkau inginkan dan berusahalah
untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja
yang di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkan semua kemampuanmu.
Tapi engkau harus tahu, semua sebab yang engkau tempuh itu, betapapun
kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja sebuah kenyataan yang mati bila harus
berhadapan dengan ketetapan Allah dan hikmah Nya yang telah ditentukan terlebih
dahulu sebelum sebab-sebab itu ada.”
Bahwa
sebab apapun yang kita lakukan hari ini untuk memperoleh apa yang kita inginkan
juga ternyata adalah karena kehendak Allah swt. Allah yang menggerakkan semua
anggota tubuh kita untuk melakukan semua sebab tersebut.
Lalu,
sikap apa yang harus kita bangun dan miliki dalam memperjuangkan cita-cita?
Tetap lakukan sebab-sebab terbaik, yang Allah ridhai, dan yakinilah bahwa sebab
tersebut bisa kita lakukan semata karena kehendakNya. Saat keberhasilan
akhirnya Allah hadiahkan maka kita menerimanya dengan penuh kesyukuran, dan
saat belum kesampaian kita pun tetap bersyukur dan ridha dengan segalanya.
**
Andai Bukan Karena CintaNya Kepadaku
Fren,
apa yang terbersit dalam benak kita ketika pada beberapa kesempatan kita
memiliki semangat yang membara untuk melakukan beragam amal ketaatan? Rutin
shalat malam, rutin puasa sunnah minimal sekali sepekan, rutin bersedekah, dan
amal kebajikan yang lain rasanya dengan sangat ringan bisa kita lakukan? Maka
secarik list yang kita buat untuk bahan evaluasi amalan harian akhirnya
dipenuhi dengan contrengan tanda dilaksanakan. Melihatnya, kita tersenyum penuh
kemenangan.
Tak
dinyana, ada kesempatan yang lain dimana kita merasa amat sangat beratnya
mendekat pada Allah lewat amalan sunnah, untuk melaksanakan yang wajib pun kita
sampai merasa harus terpaksa. Bosan, jenuh, malas, dan penyakit kronis lainnya
pun hadir menguasai diri sehingga kertas list itu akhirnya hampir penuh dengan
tanda silang karena tidak dijalankan.
Kitapun
tertegun manatap nanar kertas itu. Bertanya pada diri, “mengapa begitu cepatnya
hari berbolak-balik?”
Kemudian,
dengan alasan yang dibuat-buat, katanya mengusir kejenuhan, mencari inspirasi
kitapun menghabiskan banyak waktu untuk melakukan hal yang mubah. Memang tak
sampai makruh apalagi haram. Hanya menatap laptop selama berjam-jam, melihat
seliweran actor dan aktris berlakon dalam film Korea. Kita hanya akan mem
‘pause’ kannya sejenak saat kumandang adzan memanggil dari surau terdekat.
Kadang dengan segera bergegas ke kamar mandi, kemudian menggelar sajadah, menunai
kewajiban dengan tanpa kenikmatan. Tanpa sadar masih terekam adegan yang
terjadi pada film yang barusan kita tonton, dan kita pun mempercepat gerakan
dan bacaan karena ingin segera melanjutkan film yang tertunda.
16
episode atau bahkan lebih, selesai dengan cepatnya, sampai kita rela memangkas
jam tidur hanya dengan alasan klise, penasaran dengan kelanjutan jalan cerita
dan bagaimana endingnya. Di akhir tayangan, komentar kita hanya satu. Menyesal.
Telah
menyiakan waktu sebanyak itu untuk hal yang sia-sia. Dan penyesalan itu mungkin
sampai membuat kita merasa bersalah dan akhirnya pesimis pada ampunan dan kasih
sayang Allah.
Maka,
dalam kitab Al Hikam, Ibnu Athaillah mengatakan, “Termasuk tanda bahwa
seseorang bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat
terpeleset dan melakukan dosa.”
Maka,
ada sebuah doa yang melegenda, yang selalu dibaca oleh Syaikh Ramadhan Al
Buthi, yang diwariskan dari sang ayah. “Ya Robb, aku bersyukur kepadamu, akan
tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk bersyukur kepada Mu. Maka
syukurku kepada Mu mengharuskan aku untuk bersyukur pula karena Engkau telah
membantuku untuk bisa bersyukur kepada Mu. Engkaulah Pencipta segala sesuatu.
Engkaulah Yang Maha Lembut kepadaku di setiap keadaan…”
Doa ketundukan, kerendahan hati, bahwa semua
gerak amal yang berhasil kita lakukan tidak lain tidak bukan adalah semata
karena Allah menundukkan anggota tubuh kita untuk melakukannya. Bukan karena
upaya kita, tapi hanya karena cinta dan kasih sayangNya semata.
**Intim
Bersama Allah swt
Al
Unsu billah (intim bersama Allah) adalah rasa tenang, tenteram, rindu, damai
bersama Allah sehingga mengusir semua resah, gelisah, dan rasa takut. Al unsu
billah lahir dari ketaatan dan rasa cinta seorang hamba kepada Allah swt.
Banyak
diantara kita sudah menjalani hubungan dengan Allah, namun hanya sekedar
rutinitas. Melakukan ketaatan karena memang sudah terbiasa dan berulangkali
melakukannya. Saat bertanya pada diri, sudah seberapa dekat (intim) kita dengan
Allah? Rasanya masih jauh ya…
Imam
Ibnul Jauzi mengatakan, “Al Unsu billah hanya bisa diperoleh lewat ketaatan.
Karena sikap menolak ketaatan selalu memunculkan al walsyah (gelisah, tidak
nyaman, dan ingin menjauh). Tinggi rendahnya al unsu billah dalam diri seseorang,
tergantung dari kadar kedekatan hubungannya dengan Allah. Kian hatinya dekat
pada Allah, maka al unsu billah nya akan semakin kuat.”
Maka
sejenak mari dengarkan perkataan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, “Bila manusia
disibukkan dengan dunia, maka sibukkanlah dirimu dengan Allah swt. Bila manusia
gembira dengan dunia, maka gembirakanlah dirimu dengan Allah swt. Bila manusia
merasa nyaman dengan yang dicintainya dari makhluk, maka rebutlah rasa nyamanmu
bersama Allah. Bila manusia pergi kepada raja dan penguasa meminta rezeki, maka
pergilah engkau kepada Allah…”
Tanda
seseorang memiliki al unsu billah dalam dirinya antara lain, merasa bahagia
ketika beribadah kepada Allah swt, mampu menurahkan isi hatinya kepada Allah,
mampu terus menerus bersyukur atas nikmat-nikmatNya, terus menyenandungkan doa,
pujian, tasbih kepadaNya, merasakan bahwa seluruh alam semesta dan isinya
bersama bertasbih memujiNya. Sudahkah kita memiliki tanda-tanda itu?
Wallahu’alam.
Semoga
bermanfaat.
Alhamdulillah.
Jum'at Mubarok
Belum ada tanggapan untuk "Diriku, Bagaimana Kabarmu?"
Posting Komentar