Bismillah
Menikah
Kapan ya aku mulai memikirkannya? Tepatnya kapan sih gak pasti. Tapi sejak konkawan satu persatu mulai melepas masa lajang, mulailah ada yang berbeda. Tepatnya pasca wisuda pertama tahun 2010. Menikah ya..
Semakin banyak yang mengikat janji agung itu otomatis semakin berkurang lah yang bisa diajak hahahihi macam dulu. Semua mulai sibuk dengan aktivitas dan keluarga masing-masing. Saat itu sih masih enjoy juga karena sangat sibuuuuk sekali dengan banyak hal, jadi terkadang aja pikiran tentang pernikahan itu muncul.
Tahun 2013, first brother ku yang begitu baik juga memutuskan hal yang sama, menggenapkan separuh agamanya. Melihatnya mengucap akad aku kagum dengan keberaniannya, lelaki baik itu sadar dengan semua konsekuensinya, tapi dia sudah mantap. Sebelumnya memang aku ditanya, “kak, kalau aku mau nikah duluan gimana?”. Aku nyantai aja jawabnya, “Gak apa-apa dek, kakak persilahkan”. Emak bapak yang lebih banyak khawatir, menyuruhnya bersabar sampai aku menemukan pasanganku. Karena menurut mereka kurang baik, jika anak perempuan dilangkahi adik lelakinya. Saat itu aku malah yang mendukung adik dengan segala argumentasi ke mamak bapak. Dan akhirnya, ia pun diizinkan. Alhamdulillah
Setelah itu aku masih biasa, masih sama juga intonasinya. Menikah ya… nantilah
Then, tahun 2014 adik perempuanku bertanya dengan hati-hati. “Kak, ada proposal dikasi samaku. Kekmana menurut kakak?” Kutatap wajah teduh dan ayunya adindaku tercinta. “Kalau dia lelaki yang sholeh dan taat pada Allah, maka gak ada alasan bagimu untuk menolaknya.” Se simple itu jawabanku. Akhirnya prosesi itupun berlangsung lancar, adikku sah menjadi pendamping hidup seseorang. Saat itu? Aku udah gak biasa lagi, tapi intonasinya masih begini, menikah ya? Okelah nanti pasti menikah insyaAllah
Tahun berganti, lebaran tiba. Maka rumah semakin meriah dengan keponakan-keponakan, ipar-ipar dari kakak-kakak maupun adik-adik. Riuh suasana tapi ada yang kurasa lain. Sepertinya aku berbeda dengan yang lain. Dan sepertinya ada yang mulai berbeda dengan intonasiku, menikaaaaaahhh! Hahaha
Mulailah sibuk melirik (biasa aja) siapa kekira yang bisa dijadikan mangsa. Yang bisa menghapus kepanikanku karena rasanya di dunia semakin banyak yang bertanya hal yang sama. Kapan menikah? Mulai muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang kurang beralasan. Sampai pada titik yang keknya macam ketakutan gitu. Tapi semakin aku khawatir semakin aku gak dapat jalan keluar. Buntu. Hekhek
Kurenungi perjalanan hidupku. Dan sampailah pada sebuah kesimpulan kecil, bahwa aku memang belum pantas untuk naik ke jenjang kehidupan yang lebih tinggi itu. Karena sejatinya pernikahan adalah sebuah perjanjian yang kokoh, miitsaaqan ghaliizhaa. Perjanjian agung yang di dalam Al Qur’an hanya disebutkan sebanyak tiga kali. Sekali untuk pernikahan, kemudian saat Allah mengambil janji dari para Rasul untuk menegakkan tauhid, dan saat mengambil janji dari Bani Israil dimana gunung Thursina diletakkan di atas kepala mereka sebagai saksi. Sebegitu tingginya perjanjian (akad) ini sampai disandingkan dengan dua hal diatas.
Sesuatu yang sangat besar, sangat agung, dan sangat mulia, sejatinya hanya diamanahkan pada mereka yang memang pantas memikulnya. Kutanya hatiku, apa yang sudah kusiapkan untuk jenjang yang lebih tinggi itu? Hampir tidak ada! Aku hanya sibuk berkoar-koar mau menikah, tapi ditanya persiapan gimana? Bingung setengah hidup jawabnya. Emang perlu persiapan ya? Ya elah, mau ke Ancol aja perlu persiapan, konon lagi mau ke syurga nyak! Kudu dong sayang! Keteplok* (tepok jidat) Huaahaaa..
Hmmm, kenapa belum melakukan persiapan? Menurutku bisa jadi karena masih ada disorientasi tujuan. Aku yang semangat menikah mungkin masih punya niat yang melenceng, menikah untuk menghilangkan status cewek gak (belum) laku, untuk menghentikan tanya-tanya yang bikin esmosi itu, membuktikan pada manusia sejagat bahwa aku juga bisa laku (horeee), atau niatan-niatan lain yang orientasinya kurang tepat, atau orientasi dunia semata. Sehingga Allah memang melihatku belum pantas sama sekali.
Padahal nih, menurut Ustadzah Herlini Amran, MA dalam sebuah seminar muslimah di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir UII, persiapan menikah itu meliputi:
11. Persiapan Ruhiyah: mengubah mental menjadi lebih bertanggungjawab, sedia berbagi, meluntur ego dan berlapang dada. Siap menggunakan dua hal dalam kehidupan nyata, yakni sabar dan syukur. Kemudian, kesiapan untuk tunduk dan patuh pada ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, apalagi dalam berumahtangga. Karena biduk rumah tangga sesekali juga pasti akan menghadapi angin badai, sehingga keduanya mestilah harus saling menguatkan (yak). Bagaimana mempersiapkan ruhiyah kita? Tidak lain tidak bukan adalah mendekatkan diri pada Allah sedekat-dekatnya. Menguatkan keimanan sekuat-kuatnya. Agar ketika sebuah problem hadir, kita hanya berlari pada Allah (yup, setuju).
2. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual): menata rumah tangga dengan ilmu, pengetahuan, dan pemahaman. Ilmu apa saja? Ilmu tentang agama ini (Islam), bagaimana Islam mengatur hubungan rumah tangga. Kemudian, ilmu komunikasi yang makruf kepada pasangan (karena seringnya nih percekcokan terjadi karena adanya salah pengertian antara suami dan istri #kata buku-buku, dan orang-orang yang sudah duluan menikah). Lalu, ilmu mendidik anak (parenting), ilmu manajemen keuangan dan ilmu lainnya. wah, kalau harus paham semuanya berapa tahun lagi neh? Kalau harus menguasai sepenuhnya bisa-bisa tak menikah lah. Hikhik,, Tapi minimal kita punya pemahaman dasar akan ilmu diatas tadi,. Dan ada kesamaan sudut pandang keduanya untuk tetap mau belajar, dari siapapun, lewat apapun, sampai kapan pun. Gimana yang satu ini, setuju kan pemirsyaa? Lanjut..
33. Persiapan jasadiyah (Fisik): ini yang agak-agak ribet. Haha. Yang malas mandi, malas perawatan, malas makan sayyur, malas olahraga, malas masak, malas beberes, malas nyetrika, dan segudang malas lainnya harus dihapuskan, karena tidak sesuai lagi dengan peripernikahan (haha). Kalau tetap dipelihara, wah kasihan banget orang yang ditakdirkan bersama kita. So, semangat memberantas kemalasan! Bukan hanya perempuan loh, para lelaki juga harus mulai rajin, bagusin genteng bocor, pipa air rusak, bohlam lampu putus, gerendel pintu yang rusak karena kuncinya patah didalam, dan ilmu-ilmu pertukangan lainnya (emang mau jadi tukang kali ya). Hehe
44. Persiapan Maadiyah (Material): yang ini hepenglah, hepeng. Meski gak banyak, ya cukuplah untuk beli rumah, beli mobil, beli pesawat. Stop stop, yang ini pembahasannya sampai disini aja.
55. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial): hubungan bermasyarakat, bertetangga yang baik, dan berkontribusi dalam lingkungan. Jadi kehadiran keluarga baru kita memberi pengaruh positif bagi lingkungan tempat tinggal.
Wew,, banyak botul ya persiapannya. Tapi memang begitulah adanya. Jadi kalau ditanya secara pribadi, sudah berapa persen kesiapannya? Mungkin tak habis hitungan jumlah jari ini. Maka wajar saja jika Allah masih belum mempertemukan aku dengan jodohkyu, ya karena itu tadi. Belum pantes! Jadi sekarang, nikmati saja proses pemantasan itu sembari memohon pertolonganNya, agar bisa akselerasi. Karena memang, Allah menjanjikan pertolongan bagi tiga golongan ini. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Kedua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari maksiat. Ketiga, para mujahid di jalan Allah. (HR Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Last but not least, perbaiki niat, perbaiki niat, perbaiki niat. Semangat!
Alhamdulillah
uhukhukk*
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus