Bismillah
Menjelang
Idul Fitri kemarin dunia dikejutkan dengan beberapa tragedi teror bom di beberapa
negara (Muslim). Beruntun, mulai dari jazirah Arab (Jeddah dan Madinah),
Malaysia, Turkey, dan Indonesia. Satu organisasi mengatakan bertanggungjawab
atas semua teror tersebut. Dan katanya mereka mengaku sebagai organisasi Islam.
Kontras sekali.
Tak
berapa lama, masih di bulan Syawal kembali ada serangan brutal yang menewaskan
rakyat sipil. Di daratan Eropa, tepatnya di Nice Paris, sebuah truk menabrak
kerumunan massa dan menewaskan 73 orang, dan katanya lagi-lagi ada kaitannya
dengan Islam.
Kemudian
di Turkey pun begitu, kudeta berdarah menggulingkan pemerintahan yang sah (yang
berupaya mengembalikan aturan Allah) dilakukan oleh pihak militer, menewaskan
banyak rakyat sipil yang berusaha menggagalkan upaya kudeta tersebut. Kalau
yang ini lebih aneh lagi, dunia tidak mengutuk upaya kudeta tersebut dan seolah
ingin menutupinya. Buat sakit hati.
Anehnya,
sebagian besar atau bisa dikatakan semua tindakan anarkis yang terjadi di dunia
dilabelkan kepada Islam. Sampai ada
stigma bahwa mereka yang menjalankan Islam dengan kaffah akan menjadi
manusia yang tidak memiliki hati nurani. Akan melakukan tindakan bom bunuh diri
yang menewaskan banyak orang. Maka bermunculanlah pada islamofobia. Ketakutan
akan Islam. Khususnya di Barat.
Memang
dari data yang ada, pertumbuhan penganut agama yang cukup signifikan di kawasan
Eropa dan Amerika adalah Islam. Maka hal tersebut melahirkan ketakutan
tersendiri bagi sebagian kalangan.
Benarkah
Islam mengajarkan kekerasan? Sebagai seorang penganut Islam (yang masih
berupaya untuk kaffah) daku sedih sekali dengan kondisi ini. Kemuliaan dan
keindahan ajaran Islam terkotori oleh para penganutnya sendiri. Semoga bukan
kita salah satunya..
Islam
yang sejak awal diturunkan mengajarkan perdamaian, cinta, dan keharmonisan
belum bisa terimplementasi dalam kehidupan riil masyarakat Islam itu sendiri.
Maka lihatlah kondisi riil beberapa negara mayoritas penduduk Islam dunia.
Tingkat kemiskinan tinggi, tingkat korupsinya bikin geleng geleng kepala,
kekerasan jangan ditanya levelnya sudah setinggi apa, penjualan miras di umbar
sesukanya dan tidak dibatasi pembelinya dari usia berapa, rokok, prostitusi ada
dimana mana membuat daku butuh tempat untuk teriak sekencangnya sambil berderai
airmata, kenapaaaaaaaaa?
Sebaliknya
negara yang masyarakat muslimnya adalah minoritas, tampak menjalankan
nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan
negara Eropa lainnya yang notabene penduduk muslim hanya dua persen dari total
penduduknya. Pelayanan publik sangat baik, kedisiplinan, keteraturan,
kebersihan, adalah pemandangan hampir di setiap kota. Kejujuran, kecintaan pada
ilmu pengetahuan, penghargaan pada penemuan menjadikan mereka negara digdaya.
Maka
ada sebuah kalimat terkenal yang keluar dari seorang ulama Mesir, Muhammad
Abduh yang menangisi kondisi umat Islam yang semakin tersuruk. “Al Islamuu mahjubuun bil muslimin”.
Islam tertutup oleh umat Islam.
Kalimat
ini berawal dari kisah Syaikh Muhammad Abduh yang berdakwah di Paris,
menebarkan cahaya Islam dengan ajaran maupun perbuatan. Sekian lama berdakwah
maka banyak yang akhirnya memilih untuk menjadi bagian dari agama Islam. Hingga
satu waktu beliau harus meninggalkan Paris dan kembali ke negara asalnya, Mesir
dan mengajar di Al Azhar, Cairo.
Bertahun
tahun tidak berjumpa dengan sang guru, menimbulkan kerinduan dalam diri
murid-muridnya. Akhirnya mereka memutuskan mengunjungi sang guru meski jarak
yang di tempuh sangat jauh. Mereka melakukan perjalanan darat, lalu perjalanan
laut menyeberangi lautan Mediterania. Selain ingin berjumpa dengan Syaikh
Muhammad Abduh, mereka berharap akan berjumpa dengan saudara seiman dengan
kualitas hidup yang indah, dalam peradaban yang indah.
Mereka
membayangkan bahwa Mesir adalah negara yang menjalankan ajaran Islam dengan
seutuhnya dalam kehidupan sehar-hari mereka. kebersihannya pasti sangat terjaga
melebihi Paris. Sebab orang orang-orang Mesir sangat hafal hadits “Ath thahuru syatrul iman”, kebersihan
itu separuh dari iman. Pastilah tidak ada orang miskin, sebab semua menunaikan
zakat. Dan gambaran lainnya yang terbayang indah. Keindahan itu muncul begitu
saja karena penjelasan penjelasan Syaikh Muhammad Abduh tentang kesempurnaan
ajaran Islam.
Tatkala
kapal yang mereka tumpangi merapat ke pelabuhan Port Said, mereka terkejut
bukan main menyaksikan pelabuhan Port Said yang semerawut. Orang-orang Mesir
yang tidak bisa tertib, kata-kata yang keras dan kasar, dan kebersihan yang
tidak dijaga. Dan pengemis ada di mana mana.
Mereka
mencoba menghibur diri. Sebuah kota pelabuhan bisa dimaklumi. Mereka lalu
melanjutkan perjalanan ke Kairo. Sampai di Kairo, mereka benar-benar kecewa dan
kaget. Gambaran keindahan peradaban Islam seperti yang disampaikan Syaikh
Muhammad Abduh, tidak mereka jumpai.
Mereka
menjumpai, tak jauh dari Masjid Al Azhar seorang lelaki berjubah, kencing
dengan berdiri menghadap ke tembok. Mereka juga menyaksikan pengemis yang kumal
di area Maydan Husein. “Apakah mereka tidak malu kepada Rasulullah? Kenapa
mereka meminta-minta? Apakah ulama-ulama Al Azhar tidak ada yang mengingatkan? Apakah
orang-orang kaya di sini tidak bayar zakat?”
Ribuan
pertanyaan berjubel di kepala mereka. Mereka terpukul dan kecewa. Mereka sedih,
kenapa mereka mendapati kenyataan yang pahit dan mengenaskan ini? Lezatnya iman
yang mereka rasakan selama ini, sekarang dibenturkan dengan kenyataan riil umat
Islam yang jauh dari imajinasi keluruhan ajaran Islam yang mereka alami.
Mereka
kemudian menjumpai Syaikh Muhammad Abduh di kantornya dan mereka protes tentang
apa yang mereka lihat sejak turun kapal dan menginjak tanah Mesir hingga sampai
di jantung Al Azhar.
Dengan
isak yang tertahan sang Syaikh mengeluarkan ucapan, “Al Islamuu mahjubuun bil muslimin”. Islam tertutup oleh umat Islam.
Dalam
kisah perang Uhud kita bisa mengambil pelajaran. Kekalahan yang dialami oleh
kaum muslimin disebabkan ketidakpatuhan mereka pada perintah Rasulullah untuk
tidak meninggalkan posisi (khususnya para pemanah). Saat melihat rampasan
perang (harta dunia) mereka lupa dengan perintah Rasulullah. Akhirnya, musuh
yang semula sudah bisa mereka lumpuhkan, kembali menyusun kekuatan dan memberi
perlawanan kepada kaum muslimin. Dan kemenangan yang semula sudah di depan mata, berganti dengan kekalahan telak, gugurnya
banyak sahabat (Hamzah bin Muthalib, Mushab bin Umair, Anas bin Nadhar, dan
lainnya), terlukanya Rasulullah saw, hingga desas desus bahwa Rasulullah telah
wafat.
Mari
kita bandingkan dengan kondisi kita hari ini. Kesalahan kita apakah lebih kecil
dari kesalahan yang dilakukan para sahabat saat di Uhud? Hari ini, berapa
banyak sunnah Rasulullah yang kita acuhkan? Seberapa jauh kita mengabaikan
perintah Allah, melakukan apa yang dilarang
Allah?
Maka
wajarlah pertolongan Allah masih jauh dari kita, umat Islam. Allah membiarkan
kita mengurus diri sendiri. Jadinya? Umat
Islam selalu menjadi sasaran fitnah, kekejaman, dan kesewenang-wenangan. Tragis.
Begitupun,
ruang optimisme itu harus tetap kita nyalakan. Bahwa suatu saat, kegemilangan,
cahaya Islam yang mempesona akan kembali menyinari bumi ini seperti masa
keemasan dahulu. Syaratnya hanya satu, kita kembali pada ajaran Islam yang
sebenarnya. Menjalankan Islam dengan sepenuhnya. Islam yang penuh dengan
keharmonisan, rahmat bagi semesta alam.
Mari
berupaya menjadi bagian dari kembalinya bangunan kejayaan Islam, meski hanya
sebutir pasir. Bergandengan tangan, saling mengingatkan.
Alhamdulillah
Referensi:
1. Novel
Ayat-Ayat Cinta 2, Habiburrahman El Shirazy
2. Sirah
Nabawiyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy
Belum ada tanggapan untuk "Muslim Yang Terlupa"
Posting Komentar