Bismillah
Weleh,, udah kek apa pun judulnya. Sambil kulirik sekejap daftar
dreams, ternyata gak ada
list diatas, Menteri Ekonomi.
Pelik memang, ngimpi aja gak pernah mana mungkin lah jadi nyata. Hehe.
Awalnya karena miris saja, galau, plus sedih bercampur baur. Di Ramadhan ke tujuh pas belanja kebutuhan memasak di pajak langganan, terkejut dan sedikit syok dengan harga yang tetiba melangit. Aku yang masih sependek umur jagung berbelanja (baru beberapa bulan aja) belum pernah menemukan harga wortel 20 ribu per kilogramnya, biasa juga 6 ribuan udah mahal. Terus harga bawang merah plus putih yang meroket, sayur mayur, dan hampir semuanya serentak merangkak naik. Lho,
piye iki?
Sejujurnya secara pribadi itu tidak terlalu aku permasalahkan. Tapi pas lihat sekeliling, ada bapak becak dayung yang masih mengandalkan hidup dari hasil ojekan becak dayungnya, ada bapak tua yang memanggul karung berisi barang rongsokan, ada bapak tukang sampah langgganan yang setia datang setiap pukul 04.30 pagi, dan bapak lainnya yang secara finansial masih biasa. Sanggupkah mereka? Kalau harga-harga meroket begini, tapi pendapatan mereka tidak naik, terus mereka sahur pake apa? Anak-anak mereka masihkah cukup kebutuhan gizinya, bagaimana dengan pendidikan mereka? Sebaris tanya lainnya susul menyusul mengharap jawaban.
Waktu nanya ibu yang jualan tentang apa pasal semua ini terjadi, si ibu bilang memang udah dari sononya naik. Apa mungkin banyak yang gagal panen ya sehingga persediaan terbatas dan kalau ngikut hukum
demand and supply ya memang harga akan naik, tanya hatiku. Pas ngomel sama kawan se kontrakan tentang kejadian itu, komentarnya singkat aja. “Itu biasa, kalau Ramadhan harga-harga memang naik”. Gitu aja.
Sudah berapa tahun kita Ramadhan ya? Kan udah puluhan tahun tuh, terus berpuluh tahun peristiwa kenaikan harga ini terjadi, tidak adakah langkah antisipatif yang bisa diambil? Atau aku sajakah yang menganggap ini sebuah masalah? Pusing.
Kalau masalah kenaikan harga adalah karena stok yang terbatas sedangkan permintaan semakin banyak, tidakkah merupakan hal yang jeli ketika pemerintah menggalakkan petani untuk berproduksi lebih optimal menjelang waktu dimana jumlah permintaan naik?
Seingatku yang anak seorang petani ini, para petani pasti tergiur dengan kenaikan harga di waktu-waktu tertentu dan menggalakkan menanam komoditas yang harganya diprediksi naik. Tapi seringnya yang kudapati, ketika terjadi panen raya, harga-harga terjun bebas tak terkendali. Sehingga sering kusaksikan luka di hati bapak menyaksikan kenyataan kalau harga hasil pertaniannya tak bisa menutupi biaya pemeliharaan.
Whats wrong?
Maka, kalau aku jadi menteri ekonomi akan ku atur sedemikian rupa, sedetail yang aku bisa, bersama para pakar lain tentunya. Tentang berapa kebutuhan masyarakat negeri ini, sandang, pangan, dan papan. Kemudian akan ku petakan kebutuhan yang banyak itu akan didapatkan dari daerah mana. Akan kuturunkan tim ahli yang meneliti sebaiknya daerah yang satu harus unggul dalam produksi apa, dan daerah lainnya komoditas apa. Sehingga semua berjalan dengan efisien.
Harga akan normal dan dinikmati semua lapisan masyarakat. Jika kebutuhan dalam negeri sudah aman, maka saatnya merambah ke internasional.
Tidak akan ada lagi luka di hati para petani, para nelayan, para elemen masyarakat lainnya yang merasa jerih payahnya tak bernilai apa-apa.
Saat semua merasa dihargai maka produktivitas akan meningkat, lapangan kerja akan semakin terbuka luas, otomatis masalah pengangguran terselesaikan.
Terlalu muluk? Atau terkesan menggampangkan? Memang kerja besar ini gak selesai satu atau dua tahun, mungkin perlu sepuluh atau dua puluh tahun baru hasilnya bisa dinikmati. Selagi kita terus melangkah ke depan maka sepanjang apapun cita-cita itu pasti akan kesampaian insyaAllah. Menjadikan negeri ini diberkahi.
Allah, berkahilah negeri ini. Amin
Alhamdulillah
Belum ada tanggapan untuk "Kalau Aku Jadi Menteri Ekonomi"
Posting Komentar